Penyimpangan
dari aqidah yang benar adalah sumber petaka dan bencana. Seseorang yang
tidak mempunyai aqidah yang benar maka sangat rawan termakan oleh
berbagai macam keraguan dan kerancuan pemikiran, sampai-sampai apabila
mereka telah berputus asa maka mereka pun mengakhiri hidupnya dengan
cara yang sangat mengenaskan yaitu dengan bunuh diri. Sebagaimana pernah
kita dengar ada remaja atau pemuda yang gantung diri gara-gara diputus
pacarnya.
Begitu pula sebuah masyarakat yang tidak dibangun di
atas fondasi aqidah yang benar akan sangat rawan terbius berbagai
kotoran pemikiran materialisme (segala-galanya diukur dengan materi),
sehingga apabila mereka diajak untuk menghadiri pengajian-pengajian yang
membahas ilmu agama mereka pun malas karena menurut mereka hal itu
tidak bisa menghasilkan keuntungan materi. Jadilah mereka budak-budak
dunia, shalat pun mereka tinggalkan, masjid-masjid pun sepi seolah-olah
kampung di mana masjid itu berada bukan kampungnya umat Islam. Alangkah
memprihatinkan, wallaahul musta’aan (Disadur dari At Tauhid Li Shaffil
Awwal Al ‘Aali, hal. 12 )
Oleh karena peranannya yang sangat
penting ini maka kita juga harus mengetahui sebab-sebab penyimpangan
dari aqidah yang benar. Di antara penyebab itu adalah:
1. Bodoh terhadap prinsip-prinsip aqidah yang benar.
Hal ini bisa terjadi karena sikap tidak mau mempelajarinya, (tidak mau
mengamalkannya), tidak mau mengajarkannya, atau karena begitu sedikitnya
perhatian yang dicurahkan untuknya. Ini mengakibatkan tumbuhnya sebuah
generasi yang tidak memahami aqidah yang benar dan tidak mengerti
perkara-perkara yang bertentangan dengannya, sehingga yang benar
dianggap batil dan yang batil pun dianggap benar. Hal ini sebagaimana
pernah disinggung oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Jalinan
agama Islam itu akan terurai satu persatu, apabila di kalangan umat
Islam tumbuh sebuah generasi yang tidak mengerti hakikat jahiliyah.”
2. Ta’ashshub (fanatik)
Yakni Ta’ash-shub kepada nenek moyang dan tetap mempertahankannya
meskipun hal itu termasuk kebatilan, dan meninggalkan semua ajaran yang
bertentangan dengan ajaran nenek moyang walaupun hal itu termasuk
kebenaran. Keadaan ini seperti keadaan orang-orang kafir yang dikisahkan
Allah di dalam ayat-Nya,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا
إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا
وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada
mereka: ‘Ikutilah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada kalian!’ Mereka
justru mengatakan, ‘Tidak, tetapi kami tetap akan mengikuti apa yang
kami dapatkan dari nenek-nenek moyang kami’ (Allah katakan) Apakah
mereka akan tetap mengikutinya meskipun nenek moyang mereka itu tidak
memiliki pemahaman sedikit pun dan juga tidak mendapatkan hidayah?” (QS.
Al Baqarah: 170)
3. Taqlid Buta
Hal ini terjadi
dengan mengambil pendapat-pendapat orang dalam permasalahan aqidah tanpa
mengetahui landasan dalil dan kebenarannya. Inilah kenyataan yang
menimpa sekian banyak kelompok-kelompok . Mereka mengikuti saja
perkataan tokoh-tokoh sebelum mereka padahal mereka itu sesat. Maka
mereka juga ikut-ikutan menjadi tersesat, jauh dari pemahaman aqidah
yang benar.
4. Ghuluw (berlebih-lebihan)
(Khususnya,
ghuluw) dalam menghormati para wali dan orang-orang saleh. Mereka
mengangkatnya melebihi kedudukannya sebagai manusia. Hal ini benar-benar
terjadi hingga ada di antara mereka yang meyakini bahwa tokoh yang
dikaguminya bisa mengetahui perkara gaib, padahal ilmu gaib hanya Allah
yang mengetahuinya.
Ada juga di antara mereka yang berkeyakinan
bahwa wali yang sudah mati bisa mendatangkan manfaat, melancarkan
rezeki dan bisa juga menolak bala dan musibah. Jadilah kubur-kubur wali
ramai dikunjungi orang untuk meminta-minta berbagai hajat mereka. Mereka
beralasan hal itu mereka lakukan karena mereka merasa sebagai
orang-orang yang banyak dosanya, sehingga tidak pantas menghadap Allah
sendirian. Karena itulah mereka menjadikan wali-wali yang telah mati itu
sebagai perantara.
Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kubur-kubur
para nabi mereka sebagai masjid/tempat ibadah.” (HR. Muslim, no. 530,
dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha )
Beliau
memperingatkan umat agar tidak melakukan sebagaimana apa yang mereka
lakukan Kalau kubur nabi-nabi saja tidak boleh lalu bagaimana lagi
dengan kubur orang selain Nabi ?
5. Lalai
(Yakni)
Lalai dari merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun
qur’aniyah. Ini terjadi karena terlalu mengagumi perkembangan kebudayaan
materialistik yang digembar-gemborkan orang barat. Sampai-sampai
masyarakat mengira bahwa kemajuan itu diukur dengan sejauh mana kita
bisa meniru gaya hidup mereka. Mereka menyangka kecanggihan dan kekayaan
materi adalah ukuran kehebatan, sampai-sampai mereka terheran-heran
atas kecerdasan mereka.
Mereka lupa akan kekuasaan dan keluasan
ilmu Allah yang telah menciptakan mereka dan memudahkan berbagai
perkara untuk mencapai kemajuan fisik semacam itu. Ini sebagaimana
perkataan Qarun yang menyombongkan dirinya di hadapan manusia,
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي
“Sesungguhnya aku mendapatkan hartaku ini hanya karena ‘ilmu yang kumiliki.” (QS. Al Qashash: 78).
Padahal apa yang bisa dicapai oleh manusia itu tidaklah seberapa
apabila dibandingkan kebesaran alam semesta yang diciptakan Allah
Ta’ala.
Allah berfirman,
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Allah lah yang menciptakan kamu dan perbuatanmu.” (QS. Ash Shaffaat: 96
6. Tidak adanya bimbingan agama yang benar
Kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar.
Padahal peranan orang tua sebagai pembina putra-putrinya sangatlah
besar. Hal ini sebagaimana telah digariskan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ مَوُلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ
الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ
تُحِسُّونَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Tidaklah setiap anak yang
lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah
yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti
hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya
buntung (pada telinga)?” (Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik
rahimahullahu dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad rahimahullahu
dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam
Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775),
Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabul
Qadar (no. 2658)
Kita dapatkan anak-anak telah besar di bawah
asuhan sebuah mesin yang disebut televisi. Mereka tiru busana artis
idola, padahal busana sebagian mereka itu ketat, tipis dan menonjolkan
aurat yang harusnya ditutupi. Setelah itu mereka pun lalai dari membaca
Al Qur’an, merenungkan makna-maknanya dan malas menuntut ilmu agama.
7. Tersibukkan dengan media informasi dan penyiaran
Kebanyakan media informasi dan penyiaran melalaikan tugas penting yang
mereka emban. Sebagian besar siaran dan acara yang mereka tampilkan
tidak memperhatikan aturan agama. Ini menimbulkan fasilitas-fasilitas
itu berubah menjadi sarana perusak dan penghancur generasi umat Islam.
Acara dan rubrik yang mereka suguhkan sedikit sekali menyuguhkan
bimbingan akhlak mulia dan ajaran untuk menanamkan aqidah yang benar.
Hal itu muncul dalam bentuk siaran, bacaan maupun tayangan yang
merusak. Sehingga hal ini menghasilkan tumbuhnya generasi penerus yang
sangat asing dari ajaran Islam dan justru menjadi antek kebudayaan
musuh-musuh Islam. Mereka berpikir dengan cara pikir aneh, mereka
agungkan akalnya yang cupet, dan mereka jadikan dalil-dalil Al Qur’an
dan Hadits menuruti kemauan berpikir mereka. Mereka mengaku Islam akan
tetapi menghancurkan Islam dari dalam. (Disadur dengan penambahan dari
At Tauhid li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 12-13)
Begitu pula sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi aqidah yang benar akan sangat rawan terbius berbagai kotoran pemikiran materialisme (segala-galanya diukur dengan materi), sehingga apabila mereka diajak untuk menghadiri pengajian-pengajian yang membahas ilmu agama mereka pun malas karena menurut mereka hal itu tidak bisa menghasilkan keuntungan materi. Jadilah mereka budak-budak dunia, shalat pun mereka tinggalkan, masjid-masjid pun sepi seolah-olah kampung di mana masjid itu berada bukan kampungnya umat Islam. Alangkah memprihatinkan, wallaahul musta’aan (Disadur dari At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 12 )
Oleh karena peranannya yang sangat penting ini maka kita juga harus mengetahui sebab-sebab penyimpangan dari aqidah yang benar. Di antara penyebab itu adalah:
1. Bodoh terhadap prinsip-prinsip aqidah yang benar.
Hal ini bisa terjadi karena sikap tidak mau mempelajarinya, (tidak mau mengamalkannya), tidak mau mengajarkannya, atau karena begitu sedikitnya perhatian yang dicurahkan untuknya. Ini mengakibatkan tumbuhnya sebuah generasi yang tidak memahami aqidah yang benar dan tidak mengerti perkara-perkara yang bertentangan dengannya, sehingga yang benar dianggap batil dan yang batil pun dianggap benar. Hal ini sebagaimana pernah disinggung oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Jalinan agama Islam itu akan terurai satu persatu, apabila di kalangan umat Islam tumbuh sebuah generasi yang tidak mengerti hakikat jahiliyah.”
2. Ta’ashshub (fanatik)
Yakni Ta’ash-shub kepada nenek moyang dan tetap mempertahankannya meskipun hal itu termasuk kebatilan, dan meninggalkan semua ajaran yang bertentangan dengan ajaran nenek moyang walaupun hal itu termasuk kebenaran. Keadaan ini seperti keadaan orang-orang kafir yang dikisahkan Allah di dalam ayat-Nya,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada kalian!’ Mereka justru mengatakan, ‘Tidak, tetapi kami tetap akan mengikuti apa yang kami dapatkan dari nenek-nenek moyang kami’ (Allah katakan) Apakah mereka akan tetap mengikutinya meskipun nenek moyang mereka itu tidak memiliki pemahaman sedikit pun dan juga tidak mendapatkan hidayah?” (QS. Al Baqarah: 170)
3. Taqlid Buta
Hal ini terjadi dengan mengambil pendapat-pendapat orang dalam permasalahan aqidah tanpa mengetahui landasan dalil dan kebenarannya. Inilah kenyataan yang menimpa sekian banyak kelompok-kelompok . Mereka mengikuti saja perkataan tokoh-tokoh sebelum mereka padahal mereka itu sesat. Maka mereka juga ikut-ikutan menjadi tersesat, jauh dari pemahaman aqidah yang benar.
4. Ghuluw (berlebih-lebihan)
(Khususnya, ghuluw) dalam menghormati para wali dan orang-orang saleh. Mereka mengangkatnya melebihi kedudukannya sebagai manusia. Hal ini benar-benar terjadi hingga ada di antara mereka yang meyakini bahwa tokoh yang dikaguminya bisa mengetahui perkara gaib, padahal ilmu gaib hanya Allah yang mengetahuinya.
Ada juga di antara mereka yang berkeyakinan bahwa wali yang sudah mati bisa mendatangkan manfaat, melancarkan rezeki dan bisa juga menolak bala dan musibah. Jadilah kubur-kubur wali ramai dikunjungi orang untuk meminta-minta berbagai hajat mereka. Mereka beralasan hal itu mereka lakukan karena mereka merasa sebagai orang-orang yang banyak dosanya, sehingga tidak pantas menghadap Allah sendirian. Karena itulah mereka menjadikan wali-wali yang telah mati itu sebagai perantara.
Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kubur-kubur para nabi mereka sebagai masjid/tempat ibadah.” (HR. Muslim, no. 530, dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha )
Beliau memperingatkan umat agar tidak melakukan sebagaimana apa yang mereka lakukan Kalau kubur nabi-nabi saja tidak boleh lalu bagaimana lagi dengan kubur orang selain Nabi ?
5. Lalai
(Yakni) Lalai dari merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun qur’aniyah. Ini terjadi karena terlalu mengagumi perkembangan kebudayaan materialistik yang digembar-gemborkan orang barat. Sampai-sampai masyarakat mengira bahwa kemajuan itu diukur dengan sejauh mana kita bisa meniru gaya hidup mereka. Mereka menyangka kecanggihan dan kekayaan materi adalah ukuran kehebatan, sampai-sampai mereka terheran-heran atas kecerdasan mereka.
Mereka lupa akan kekuasaan dan keluasan ilmu Allah yang telah menciptakan mereka dan memudahkan berbagai perkara untuk mencapai kemajuan fisik semacam itu. Ini sebagaimana perkataan Qarun yang menyombongkan dirinya di hadapan manusia,
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي
“Sesungguhnya aku mendapatkan hartaku ini hanya karena ‘ilmu yang kumiliki.” (QS. Al Qashash: 78).
Padahal apa yang bisa dicapai oleh manusia itu tidaklah seberapa apabila dibandingkan kebesaran alam semesta yang diciptakan Allah Ta’ala.
Allah berfirman,
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Allah lah yang menciptakan kamu dan perbuatanmu.” (QS. Ash Shaffaat: 96
6. Tidak adanya bimbingan agama yang benar
Kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar. Padahal peranan orang tua sebagai pembina putra-putrinya sangatlah besar. Hal ini sebagaimana telah digariskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ مَوُلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?” (Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Malik rahimahullahu dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabul Qadar (no. 2658)
Kita dapatkan anak-anak telah besar di bawah asuhan sebuah mesin yang disebut televisi. Mereka tiru busana artis idola, padahal busana sebagian mereka itu ketat, tipis dan menonjolkan aurat yang harusnya ditutupi. Setelah itu mereka pun lalai dari membaca Al Qur’an, merenungkan makna-maknanya dan malas menuntut ilmu agama.
7. Tersibukkan dengan media informasi dan penyiaran
Kebanyakan media informasi dan penyiaran melalaikan tugas penting yang mereka emban. Sebagian besar siaran dan acara yang mereka tampilkan tidak memperhatikan aturan agama. Ini menimbulkan fasilitas-fasilitas itu berubah menjadi sarana perusak dan penghancur generasi umat Islam. Acara dan rubrik yang mereka suguhkan sedikit sekali menyuguhkan bimbingan akhlak mulia dan ajaran untuk menanamkan aqidah yang benar.
Hal itu muncul dalam bentuk siaran, bacaan maupun tayangan yang merusak. Sehingga hal ini menghasilkan tumbuhnya generasi penerus yang sangat asing dari ajaran Islam dan justru menjadi antek kebudayaan musuh-musuh Islam. Mereka berpikir dengan cara pikir aneh, mereka agungkan akalnya yang cupet, dan mereka jadikan dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits menuruti kemauan berpikir mereka. Mereka mengaku Islam akan tetapi menghancurkan Islam dari dalam. (Disadur dengan penambahan dari At Tauhid li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 12-13)
0 komentar:
Posting Komentar